Sunday, May 21, 2006

Juice dan Air Putih


21 Mei 2006

Suatu ketika, saya memesan juice untuk melepas dahaga saya siang itu. Pada hari yang panas dan segala sesuatu terasa mengisap cairan yang tersisa, tampaknya hanya juice yang bisa mencegah saya mengalami dehidrasi. Segelas juice untuk melepas dahaga di hari yang panas, alangkah nikmatnya.

Berhadapan dengan segelas juice yang sekarang menjadi milik saya, saya tersedot ke dalam suatu pengembaraan pikiran. Teman-teman saya, seperti kebanyakan orang, seringkali meminta juice untuk menyegarkan kerongkongannya. Juice, tidak dapat dipungkiri, memang menyegarkan. Tersedia dalam berbagai rasa, seringkali disajikan dalam keadaan dingin, segarnya terasa lama bahkan hingga beberapa jam setelah diminum.

N
amun juice tidak seperti air putih. Juice bukan minuman yang tepat untuk diminum dalam segala keadaan. Saya meminum juice untuk waktu tertentu saja. Sisanya, untuk menjaga organ-organ saya tetap hidup, saya memilih air putih. Betapapun menariknya juice, sesungguhnya air putih adalah teman saya yang paling setia. Air putih yang selalu membuat lidah merasakan rasa “netral” yang menjadikan saya siap mencecap rasa lain yang beraneka ragam. Juice secara otomatis meninggalkan rasa manis, namun saya tak suka mencecap rasa manis terus menerus.

Istimewanya juice. Betapa dibutuhkannya air putih. Saya membutuhkan keduanya. Memang menarik menganalisis peran segelas juice, namun betapa besar gunanya air putih. Untuk menemani hidup sehari-hari, saya jelas lebih memilih air putih ketimbang juice.


Namun segelas juice yang nyata masih jauh lebih berharga daripada air putih yang berasal dari oase yang maya. Oase yang tak lain hanyalah fatamorgana di tengah Sahara. Tampak menyegarkan, namun tak pernah nyata. Sebesar apapun upaya untuk mencapainya.

read more from my post...

The most vulnerable point of Achilles


21 Mei 2006

Achilles, pahlawan dari zaman perang Troya, kuat melawan prajurit mana pun. Siapa pun. Tangguh dalam perang apapun. Achilles, mendapatkan kekuatannya setelah ditenggelamkan terbalik pada sungai (sungai entah apa saya lupa), oleh ibunya ketika bayi. Mata kakinya yang tidak ikut terendam dalam sungai, menjadi bagian terlemah dari dirinya. Pada mata kaki itulah, ibunya menumpu berat tubuh Achilles kecil.

Seorang teman bercerita, kadang dia merasa seperti Achilles. Dia yakin dulu ibunya merendam dirinya pada sungai yang sama seperti ibu Achilles merendam anaknya. Mungkin belajar dari pengalaman orang lain, ibu teman saya itu merendam anaknya dengan posisi yang berbeda. Alih-alih menenggelamkan dengan posisi terbalik, teman saya direndam seluruh tubuhnya, dalam posisi telentang. Karena itulah, dia merasa kuat dan berani melakukan hal apapun juga. Namun, tampaknya ibunya menenggelamkan dia hanya sebentar. Sepertinya air sungai belum cukup meresap ke organ-organ dalam tubuhnya. Her heart became her vulnerable point since that.

Itukah sebabnya hatinya terlampau rapuh? Terlampau sensitif sehingga luka sedikitpun dapat melemahkannya?

read more from my post...