Tuesday, November 28, 2006

TULIS!!!!

27 November 2006

Dalam suatu suasana yang nyaman untuk diri saya, biasanya saya bicara lebih banyak ketimbang menjadi pendengar. Selain suka berbicara, kegemaran saya yang lain adalah menulis. Banyak hal yang saya tulis dan saya punya dokumentasi yang cukup mengenai beberapa kejadian penting dalam hidup saya. Namun, saya kurang suka mencatat materi pelajaran maupun kuliah. Entah kenapa, saya merasa kurang sreg bila harus menyalin apa yang orang lain sudah tulis. Terlebih kalau saya bisa mendapatkan materi yang sama tanpa harus membuat catatan.

Suatu hari ketika saya masih menjadi murid kelas 3-I di SMP Negeri 4 Bogor, saya membuat seorang guru marah besar. Guru ini, wanita tua yang mengajar pelajaran Matematika sesungguhnya adalah salah seorang guru favorit saya karena gaya cuek dan celetukan khas ibu-ibunya di tengah pelajaran. Saat itu, beliau sedang menerangkan hal-hal yang bisa dihitung dari sebuah kerucut, mulai dari volume hingga irisannya. Saya memperhatikan secara seksama ketika beliau menerangkan dan bermain tebak-tebakan dengan teman (Yudha) ketika teman-teman lain menyalin apa yang Ibu tulis di papan tulis. Ibu Guru berkeliling kelas menghampiri setiap meja.

Ketika sampai di meja saya, beliau langsung melihat buku tulis saya dan bertanya, “mana..mana..? Lihat catatan kamu”.
Saat itu, saya dengan polosnya menjawab, “Ngga nyalin, bu”.
“Kenapa?!”
“Kan udah ada di buku cetak...” (jawaban polos atau bego sih?)
Kemudian beliau menghela napas dan BRAAKK!! Ibu Guru menggebrak meja saya dengan tangannya dan berteriak, “TULIS!!”. Kelas terhenyak dan langsung melihat ke arah saya.
“Kamu pikir untuk apa Ibu menulis kalau bukan untuk disalin?”, marahnya. Saya diam. Sambil melotot, beliau melanjutkan ceramah panjangnya yang dalam setiap jeda selalu dijawab teman-teman seperti bebek, “iya, bu..”.

Selesai mengomel, Ibu Guru kemudian berlalu dan berkata, “tulis sekarang”. Tanpa memperpanjang urusan, saya menulis dengan tangan gemetaran setelahnya. Saya gemetar bukan karena takut, tapi seratus persen merasa sangat marah. Bahkan ketika itu pun saya tidak akan melakukan sesuatu tanpa ada alasannya. Ketika itu adalah masa-masa di mana saya sangat bisa mengandalkan daya ingat saya. Saya memang tidak terbiasa menulis apa yang sudah ada di buku. Saya hanya menulis poin-poin perkataan guru yang diambil dari buku lain. Dengan tingkat kemalasan demikian, saya merasa cukup dengan selalu masuk golongan lima besar di kelas. For your information, SMP Negeri 4 Bogor adalah salah satu sekolah unggulan di kota ini.

Saya memang tidak lantas berubah menjadi rajin setelah kejadian itu. Saya tetap pada kebiasaan saya mencatat hanya bagian-bagian yang saya anggap penting dan tetap pintar dengan memperhatikan pelajaran dari guru secara serius. Tentu saja saya jadi lebih berhati-hati setelahnya, ketika teman-teman mencatat, saya berpura-pura ikut sibuk padahal yang tercipta dari pulpen saya hanyalah kartun sapi dengan bunga di kupingnya. Tapi peristiwa tersebut menyumbang suatu poin pemahaman bagi saya untuk sesekali memandang sesuatu dari sudut pandang orang lain. Seringkali saya keukeuh dengan apa yang menjadi kebiasaan saya karena yakin bahwa hal tersebut tidak menyakiti orang lain. Saya tidak memikirkan perasaan guru saya yang kecewa karena menganggap saya tidak menghargai pelajarannya. Padahal sumpah Bu, Pak, saya selalu memperhatikan kata-kata Ibu dan Bapak! Tapi emang males nulis aja...

Sekarang, saya memutuskan untuk selalu mencatat. Apapun. Kapanpun. Bahkan Menjadi Penulis adalah satu hal dari Daftar Cita-cita saya yang baru.

read more from my post...

Sandi Morse



27 November 2006

Dulu, ketika SMP saya tergabung dalam organisasi Pramuka. Saya bangga sekali karenanya sebab ketika itu Pramuka SMP Negeri 4 adalah yang terbaik di Bogor. Langganan Juara Umum Lomba Pramuka, bahkan kalau kami hanya membawa piala Juara Dua pun rasanya hina sekali.


Sebagai pencinta Pramuka, saya menerapkan beberapa ilmu Pramuka dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuknya adalah menggunakan Sandi Morse untuk menulis catatan harian saya. Saat itu selain Pengetahuan Umum, Morse adalah salah satu andalan saya dalam menghadapi bermacam lomba. Catatan-catatan harian ini, saya simpan dalam satu binder yang sama dengan file catatan pelajaran saya. Catatan harian ini mencakup juga cerita-cerita tentang gebetan saya waktu itu, seorang teman Pramuka dengan inisial A. Catatan harian ini, sayangnya menarik perhatian seorang teman (Nilam) untuk mengetahui isinya.


Suatu hari saat kami sedang berkumpul di Sanggar Pramuka, Nilam melepas paksa catatan harian itu. Sambil berlari pulang, dia berteriak “gw kembaliin besok. Gw terjemahin dulu isinya!”. Dan ternyata dia serius, Nilam memang tidak hafal Sandi Morse. Namun nyata bahwa dia berusaha keras karena ada coret-coretan pensil yang tidak terhapus sempurna di kertas-kertas itu keesokan harinya.

Tentu saja dia jadi tahu perasaan saya terhadap cowok itu.

Jadilah dia menjadi salah satu mak comblang yang dengan serius berusaha mendekatkan saya dengan si cowok. Berkat kemampuannya melobi, mak comblang saya menjelma menjadi sebuah tim solid dengan anggota beberapa anak Pramuka yang tersebar di beberapa kelas. Dia menjadi salah seorang yang ikut senang ketika melihat si cowok mengajak saya pulang bareng. Dia menjadi salah seorang yang bersemangat ketika melihat saya terlibat canda dengan si cowok sedemikian dekat. Dan dia juga menjadi salah seorang yang ikut marah ketika suatu hari si cowok malah jadian dengan adik kelas saya (karena suatu kecelakaan yang konyol).

Saya akhirnya memang ngga pernah jadian sama cowok itu. Beberapa bulan kemudian, saya jadian dengan seorang teman les yang berbeda sekolah tapi punya nama yang sama dengan cowok anak Pramuka itu.

Kisah ini terjadi pada tahun terakhir saya di SMP 4. Sayangnya si anak Pramuka ini tidak satu SMU dengan saya, NEM-nya tidak cukup bagus saat itu hehehe.. Beberapa tahun setelah itu, sesekali saya masih suka menulis diary menggunakan Sandi Morse. Saat ini saya masih hafal sekitar 90 persen huruf Morse. Ah ya, walaupun sekarang teknologi sudah makin canggih dengan adanya software-software diary dengan pengaman password, Morse tidak akan pernah hilang dari kenangan saya.

read more from my post...

Santai Sedikit Laah...

26 November 2006
Beberapa hari ini saya kerap bersitegang dengan bokap. Beliau ini –satu dari sekian orang yang mencintai dan saya cintai- rupanya terganggu karena belakangan ini saya sering pulang malam. Kekhawatiran beliau, untunglah dapat saya pahami sebagai satu bentuk perhatian. Bagaimanapun bentuk penyampaiannya (SMS, telepon, pertanyaan di waktu pagi), kekhawatirannya adalah salah satu alasan yang mendorong saya selalu ingin kembali ke rumah. Bagaimanapun beliau adalah satu-satunya anggota keluarga di rumah yang tidak bisa tertidur ketika ada anggota keluarganya yang masih tercecer di luar rumah.

Kali ini, kekhawatirannya berpusat pada (menurut anggapannya) kurangnya waktu tidur saya. Penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan mudah, karena beliau dengan memang mengetahui kegiatan rutin saya. Itulah sebabnya saya hampir tidak pernah kehabisan pulsa, bokap menjamin ketersediaan pulsa ponsel untuk memudahkan saya melapor kegiatan dan posisi saya kepadanya.

Kembali lagi ke masalah kurang istirahat, ya... ngga bisa dibilang begitu sih. Kurang waktu tidur tepatnya. Beberapa hari belakangan ini memang ada saja kegiatan yang memaksa saya tidur larut malam. Mulai dari tiga hari lembur waktu ditugaskan memanage pembuatan film pendek, makan malam dengan klien, meliput untuk Pariwara sampai hang out bersama teman (satu hal yang sudah jarang sekali saya lakukan). Dan seringkali waktu melek itu masih berlangsung hingga larut malam. Ada saja hal yang memaksa saya untuk tidur semakin larut. Mulai dari mendesain publikasi untuk kebutuhan training, mentransfer rekaman wawancara dan mambuat rekapnya, menonton film-film bagus kalau sedang diputar di TV hingga ngobrol dengan teman (tengah malam) yang kebetulan mendapat jatah freetalk. Oh ya, empat hari ini juga saya diganggu sariawan besar yang cukup membuat tubuh selelah apapun enggan tertidur pulas.

Yeah well, itu kira-kira rincian kegiatan saya yang cukup membuat bokap hakul yakin saya kurang tidur. Padahal jatah tidur saya hari-hari ini tidak lebih sedikit dibanding ketika saya masih kuliah dulu. Beruntung sekarang saya tidak dipusingkan dengan paper-paper KPM yang jumlahnya mencapai lima perminggu itu. Kegiatan saya juga tidak lebih melelahkan dibanding saat kuliah dulu. Beberapa bulan ini, saya banyak menggunakan waktu dengan duduk di depan komputer. *Pekerjaan ini disebut monitoring=memelototi monitor komputer. Meminjam istilah teman saya dari UGM.

Jadi kalau selama bertahun-tahun ini saya bisa menjalani hidup tanpa gangguan kesehatan yang berarti (karena jam tidur yang sedikit), kenapa beliau harus khawatir? Tapi sekali lagi, pertanyaan saya terhenti pada dua kata saja: karena sayang.

Sesungguhnya, saya tidak merasa kekurangan waktu bersantai. Santai ya seperti saat ini, Minggu dini hari berteman handphone+earphone dan buku pinjaman dari seorang teman. Inilah salah satu bentuk santai menurut saya. Ah ya, kok saya memaknai santai berbeda dengan bokap ya? Buat saya, santai bisa berarti detik-detik di mana kita bisa berbagai cerita lucu dengan teman, tertawa bersama karena buruknya audio system bioskop dan juga detik-detik menjelang tidur yang saya lewatkan dengan mengenang kelucuan- kelucuan yang terjadi pada siang harinya.

Intinya, santai tidak harus berarti berbaring di kamar tidak mengerjakan apapun. Santai adalah setiap detik yang dilewatkan dengan senyuman, rasa nyaman yang menjaga setiap sel di tubuh bersemangat mengerjakan fungsi normalnya. Karena saya merasa menjadi orang yang lebih banyak tersenyum daripada khawatir, punya lebih banyak cerita lucu untuk dibagi ketimbang cerita sedih, lebih banyak teman daripada musuh (semoga), rasanya kok saya santai terus ya?

read more from my post...