29 Oktober 2005
Harry Potter and The Half-Blood Prince terbit perdana secara serentak persis sehari setelah ulangtahun saya ke-20. Jauh-jauh hari sebelumnya saya mengingatkan orang-orang terdekat bahwa buku itu bisa jadi salah satu opsi kado ulangtahun yang menarik. KKP yang sedang saya jalani saat itu membuat saya mengeluarkan biaya yang lumayan besar dan rasanya ngga tega membeli buku edisi bahasa inggris tersebut. Lagipula saya pasti akan membeli yang edisi bahasa Indonesia nantinya.
Tapi untunglah, teman saya yang baik dan kreatif bertemu orang baik di kaskus.com yang bagi-bagi link e-book. Setelah diunduh dan dicetak dari komputer, jadilah Harpot versi cetak dari PDF itu milik saya. Internet memang surga bagi komunitas pembajak seperti kami ya?
Saya menulis tulisan ini setengahnya bertujuan semacam confession, pengakuan dosa karena telah turut menyuburkan kebiasaan membajak. Setengahnya lagi karena saya memang terkesan pada prosesnya (dan hasilnya). Sudahlah, sebagian besar dari kita memang pembajak kan? Salut bagi Anda yang beralih ke software opensource atau keukeuh pengen memakai software asli, tapi kita belum bisa tegas dalam penggunaan mesin fotokopi. Terutama bagi kita yang masih mahasiswa. Susah walaupun bukan tidak mungkin.
Kembali lagi ke si Harpot PDF. Karena dicetak dalam ukuran mini (1/4 halaman kertas A4), maka Harpotnya bisa dibawa kemana-mana. Dibaca saat kuliah, duduk di angkot maupun kegiatan pribadi lainnya.
Ketika saya sedang enak-enaknya menikmati cerita tersebut di dalam ruang kuliah, salah satu teman saya dengan enaknya nyeletuk, “ntar kan Dumbledore mati tau!”. Sial. Saat itu saya berpikir, “jadi nggak seru deh”. Tapi ternyata cerita tersebut masih tetap menarik untuk dibaca, walaupun sudah diketahui klimaksnya.
Memang benar pada episode kali ini tokoh super duper wise itu dimatikan. Ngga nyangka karena sejak awal kemunculannya dia selalu digambarkan sebagai ‘penyihir terbesar abad ini, satu-satunya yang U-Know-Who takuti”. Tapi toh dia mati juga. Pembunuhnya juga adalah orang yang tidak saya sangka sebelumnya -entahlah, apa saya memang tidak pandai menebak jalannya suatu cerita atau terlalu berbaik sangka padanya- yaitu Snape.
Walapun saya percaya sepenuhnya bahwa Harry Potter akan tetap hidup hingga akhir cerita, tak urung saya ragu juga apakah dia bisa menyelesaikan semua permasalahan pada buku terakhir. *In this case, JK Rowling does. Mungkin buku terakhir akan tebal sekali.
Harry Potter and The Half-Blood Prince terbit perdana secara serentak persis sehari setelah ulangtahun saya ke-20. Jauh-jauh hari sebelumnya saya mengingatkan orang-orang terdekat bahwa buku itu bisa jadi salah satu opsi kado ulangtahun yang menarik. KKP yang sedang saya jalani saat itu membuat saya mengeluarkan biaya yang lumayan besar dan rasanya ngga tega membeli buku edisi bahasa inggris tersebut. Lagipula saya pasti akan membeli yang edisi bahasa Indonesia nantinya.
Tapi untunglah, teman saya yang baik dan kreatif bertemu orang baik di kaskus.com yang bagi-bagi link e-book. Setelah diunduh dan dicetak dari komputer, jadilah Harpot versi cetak dari PDF itu milik saya. Internet memang surga bagi komunitas pembajak seperti kami ya?
Saya menulis tulisan ini setengahnya bertujuan semacam confession, pengakuan dosa karena telah turut menyuburkan kebiasaan membajak. Setengahnya lagi karena saya memang terkesan pada prosesnya (dan hasilnya). Sudahlah, sebagian besar dari kita memang pembajak kan? Salut bagi Anda yang beralih ke software opensource atau keukeuh pengen memakai software asli, tapi kita belum bisa tegas dalam penggunaan mesin fotokopi. Terutama bagi kita yang masih mahasiswa. Susah walaupun bukan tidak mungkin.
Kembali lagi ke si Harpot PDF. Karena dicetak dalam ukuran mini (1/4 halaman kertas A4), maka Harpotnya bisa dibawa kemana-mana. Dibaca saat kuliah, duduk di angkot maupun kegiatan pribadi lainnya.
Ketika saya sedang enak-enaknya menikmati cerita tersebut di dalam ruang kuliah, salah satu teman saya dengan enaknya nyeletuk, “ntar kan Dumbledore mati tau!”. Sial. Saat itu saya berpikir, “jadi nggak seru deh”. Tapi ternyata cerita tersebut masih tetap menarik untuk dibaca, walaupun sudah diketahui klimaksnya.
Snape Killed Dumbledore!
Memang benar pada episode kali ini tokoh super duper wise itu dimatikan. Ngga nyangka karena sejak awal kemunculannya dia selalu digambarkan sebagai ‘penyihir terbesar abad ini, satu-satunya yang U-Know-Who takuti”. Tapi toh dia mati juga. Pembunuhnya juga adalah orang yang tidak saya sangka sebelumnya -entahlah, apa saya memang tidak pandai menebak jalannya suatu cerita atau terlalu berbaik sangka padanya- yaitu Snape.
Walapun saya percaya sepenuhnya bahwa Harry Potter akan tetap hidup hingga akhir cerita, tak urung saya ragu juga apakah dia bisa menyelesaikan semua permasalahan pada buku terakhir. *In this case, JK Rowling does. Mungkin buku terakhir akan tebal sekali.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.