Friday, December 08, 2006

sebuah pengakuan ...



7 Desember 2006

Dulu saya punya tempat bekal makanan favorit, warna hijau muda berbahan plastik berbentuk rumah dengan gambar tiga beruang nongol di jendela. Tempat bekal ini besarnya lumayan, bisa dimasukkan botol minum juga. Tempat bekal ini menjadi salah satu benda yang setia menemani saya sekolah TK pada umur 4 tahun.

Sebagai salah satu teman main di rumah, saya punya seekor anak kucing kecil berbulu hitam putih. Kucing ini luar biasa lincah dan lumayan sering main keluar rumah.

Suatu hari, sebuah truk datang ke depan rumah mengantarkan pesanan pasir untuk tetangga yang sedang merenovasi rumah. Truk tersebut memerlukan waktu yang cukup lama untuk parkir di depan rumah saya. Saya teringat si kucing kecil yang sering main di bawah mobil.

Saya segera mengambil tindakan (yang saya pikir) penyelamatan. Si kucing kecil saya kurung di tempat bekal karena saya takut dia berlari keluar dan terlindas truk! Sungguh saya takut ketika membayangkan kucing manis ini mati terlindas.

Setelah beberapa lama, akhirnya truk tersebut pergi juga. Dengan perasaan bangga karena merasa telah menyelamatkan satu makhluk, saya membuka tempat bekal dan bersiap menggendongnya. Namun apa yang saya dapati sungguh tak diduga sebelumnya.

Anak kucing tersebut mati lemas di dalam tempat bekal saya.

Hari-hari selanjutnya merupakan saat-saat yang berat dalam hidup saya. Saya merasa bersalah karena pada usia sedini itu telah melakukan suatu pembunuhan (walaupun) tidak disengaja. Perasaan ini masih diperberat oleh Mama yang seringkali berkata bahwa di hari akhir nanti saya akan dihukum menghitung bulu kucing satu persatu. Mama mengatakan hal ini kalau sedang iseng dan sedang ingin menghukum saya. Setelah kejadian itu, tempat bekal saya duduk manis di atas lemari dapur dan saya tak ingin menyentuhnya lagi. Setiap kali melihat tempat bekal itu, tenggorokan saya langsung terasa sakit seperti tercekat karena menahan tangis.

Saat itu, saya hanya berpikir untuk menyelamatkan si kucing. Sedikitpun saya tidak mengerti bahwa makhluk hidup memerlukan udara untuk bernapas. Maafkan aku, kucing ..... *hiks hiks* masih sedih sampe sekarang..

read more from my post...

Wednesday, December 06, 2006

Cinderella



Cinderella berjalan menghampiri rombongan Pangeran dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Pengawal. Pangeran menatapnya dan membatin, "ya inilah gadis yang kucari sejak Pesta Dansa itu". Cinderella curi-curi pandang dan membatin, "duh gimana yah kalo ketauan itu gw? Mudah-mudahan ngga ada yang tau deh.."

Kepala Pengawal memasangkan dengan perlahan sepatu yang cuma sebelah itu) ke kaki kanan Cinderella. Semua yang hadir di ruangan menahan napas dan mengira-ngira apa yang bakal terjadi. Ibu Tiri mulai berkeringat dan sibuk berkipas-kipas.

Cinderella berharap bahwa sepatu ini tidak akan pas di kakinya. Cinderella berharap bahwa sepatu kaca itu akan bernasib sama dengan sepatu Donatello yang baru dibelinya kemarin, tiba-tiba longgar setelah dipakai beberapa kali. Cinderella benar-benar berharap sepatu itu tidak pas!!

Namun, harapannya tidak sesuai kenyataan. Sepatu itu melekat pas pada kaki kanan Cinderella yang lumayan besar untuk ukuran gadis pada zaman itu. Pengawal menjerit gembira karena hal ini berarti mereka tidak perlu berkeliling kerajaan untuk menemani Pangeran mencari gadis impiannya. Pangeran ini memang harus dituruti segala kehendaknya meskipun ini berarti Pengawal harus kerja lembur tanpa ada tambahan uang lembur.....

(belum selesai, tunggu yah kelanjutannya...ini postingan Desember 2006, belon dilanjutin hihihi)

read more from my post...

Monday, December 04, 2006

take it for granted

Baginya menerima bukanlah cita-cita

Menerima tak pernah menjadi hal yang utama
Suatu duri pengingat terhadap cerita lama
Menerima hanya akan membuatnya lemah terhadap luka

read more from my post...

Tuesday, November 28, 2006

TULIS!!!!

27 November 2006

Dalam suatu suasana yang nyaman untuk diri saya, biasanya saya bicara lebih banyak ketimbang menjadi pendengar. Selain suka berbicara, kegemaran saya yang lain adalah menulis. Banyak hal yang saya tulis dan saya punya dokumentasi yang cukup mengenai beberapa kejadian penting dalam hidup saya. Namun, saya kurang suka mencatat materi pelajaran maupun kuliah. Entah kenapa, saya merasa kurang sreg bila harus menyalin apa yang orang lain sudah tulis. Terlebih kalau saya bisa mendapatkan materi yang sama tanpa harus membuat catatan.

Suatu hari ketika saya masih menjadi murid kelas 3-I di SMP Negeri 4 Bogor, saya membuat seorang guru marah besar. Guru ini, wanita tua yang mengajar pelajaran Matematika sesungguhnya adalah salah seorang guru favorit saya karena gaya cuek dan celetukan khas ibu-ibunya di tengah pelajaran. Saat itu, beliau sedang menerangkan hal-hal yang bisa dihitung dari sebuah kerucut, mulai dari volume hingga irisannya. Saya memperhatikan secara seksama ketika beliau menerangkan dan bermain tebak-tebakan dengan teman (Yudha) ketika teman-teman lain menyalin apa yang Ibu tulis di papan tulis. Ibu Guru berkeliling kelas menghampiri setiap meja.

Ketika sampai di meja saya, beliau langsung melihat buku tulis saya dan bertanya, “mana..mana..? Lihat catatan kamu”.
Saat itu, saya dengan polosnya menjawab, “Ngga nyalin, bu”.
“Kenapa?!”
“Kan udah ada di buku cetak...” (jawaban polos atau bego sih?)
Kemudian beliau menghela napas dan BRAAKK!! Ibu Guru menggebrak meja saya dengan tangannya dan berteriak, “TULIS!!”. Kelas terhenyak dan langsung melihat ke arah saya.
“Kamu pikir untuk apa Ibu menulis kalau bukan untuk disalin?”, marahnya. Saya diam. Sambil melotot, beliau melanjutkan ceramah panjangnya yang dalam setiap jeda selalu dijawab teman-teman seperti bebek, “iya, bu..”.

Selesai mengomel, Ibu Guru kemudian berlalu dan berkata, “tulis sekarang”. Tanpa memperpanjang urusan, saya menulis dengan tangan gemetaran setelahnya. Saya gemetar bukan karena takut, tapi seratus persen merasa sangat marah. Bahkan ketika itu pun saya tidak akan melakukan sesuatu tanpa ada alasannya. Ketika itu adalah masa-masa di mana saya sangat bisa mengandalkan daya ingat saya. Saya memang tidak terbiasa menulis apa yang sudah ada di buku. Saya hanya menulis poin-poin perkataan guru yang diambil dari buku lain. Dengan tingkat kemalasan demikian, saya merasa cukup dengan selalu masuk golongan lima besar di kelas. For your information, SMP Negeri 4 Bogor adalah salah satu sekolah unggulan di kota ini.

Saya memang tidak lantas berubah menjadi rajin setelah kejadian itu. Saya tetap pada kebiasaan saya mencatat hanya bagian-bagian yang saya anggap penting dan tetap pintar dengan memperhatikan pelajaran dari guru secara serius. Tentu saja saya jadi lebih berhati-hati setelahnya, ketika teman-teman mencatat, saya berpura-pura ikut sibuk padahal yang tercipta dari pulpen saya hanyalah kartun sapi dengan bunga di kupingnya. Tapi peristiwa tersebut menyumbang suatu poin pemahaman bagi saya untuk sesekali memandang sesuatu dari sudut pandang orang lain. Seringkali saya keukeuh dengan apa yang menjadi kebiasaan saya karena yakin bahwa hal tersebut tidak menyakiti orang lain. Saya tidak memikirkan perasaan guru saya yang kecewa karena menganggap saya tidak menghargai pelajarannya. Padahal sumpah Bu, Pak, saya selalu memperhatikan kata-kata Ibu dan Bapak! Tapi emang males nulis aja...

Sekarang, saya memutuskan untuk selalu mencatat. Apapun. Kapanpun. Bahkan Menjadi Penulis adalah satu hal dari Daftar Cita-cita saya yang baru.

read more from my post...

Sandi Morse



27 November 2006

Dulu, ketika SMP saya tergabung dalam organisasi Pramuka. Saya bangga sekali karenanya sebab ketika itu Pramuka SMP Negeri 4 adalah yang terbaik di Bogor. Langganan Juara Umum Lomba Pramuka, bahkan kalau kami hanya membawa piala Juara Dua pun rasanya hina sekali.


Sebagai pencinta Pramuka, saya menerapkan beberapa ilmu Pramuka dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuknya adalah menggunakan Sandi Morse untuk menulis catatan harian saya. Saat itu selain Pengetahuan Umum, Morse adalah salah satu andalan saya dalam menghadapi bermacam lomba. Catatan-catatan harian ini, saya simpan dalam satu binder yang sama dengan file catatan pelajaran saya. Catatan harian ini mencakup juga cerita-cerita tentang gebetan saya waktu itu, seorang teman Pramuka dengan inisial A. Catatan harian ini, sayangnya menarik perhatian seorang teman (Nilam) untuk mengetahui isinya.


Suatu hari saat kami sedang berkumpul di Sanggar Pramuka, Nilam melepas paksa catatan harian itu. Sambil berlari pulang, dia berteriak “gw kembaliin besok. Gw terjemahin dulu isinya!”. Dan ternyata dia serius, Nilam memang tidak hafal Sandi Morse. Namun nyata bahwa dia berusaha keras karena ada coret-coretan pensil yang tidak terhapus sempurna di kertas-kertas itu keesokan harinya.

Tentu saja dia jadi tahu perasaan saya terhadap cowok itu.

Jadilah dia menjadi salah satu mak comblang yang dengan serius berusaha mendekatkan saya dengan si cowok. Berkat kemampuannya melobi, mak comblang saya menjelma menjadi sebuah tim solid dengan anggota beberapa anak Pramuka yang tersebar di beberapa kelas. Dia menjadi salah seorang yang ikut senang ketika melihat si cowok mengajak saya pulang bareng. Dia menjadi salah seorang yang bersemangat ketika melihat saya terlibat canda dengan si cowok sedemikian dekat. Dan dia juga menjadi salah seorang yang ikut marah ketika suatu hari si cowok malah jadian dengan adik kelas saya (karena suatu kecelakaan yang konyol).

Saya akhirnya memang ngga pernah jadian sama cowok itu. Beberapa bulan kemudian, saya jadian dengan seorang teman les yang berbeda sekolah tapi punya nama yang sama dengan cowok anak Pramuka itu.

Kisah ini terjadi pada tahun terakhir saya di SMP 4. Sayangnya si anak Pramuka ini tidak satu SMU dengan saya, NEM-nya tidak cukup bagus saat itu hehehe.. Beberapa tahun setelah itu, sesekali saya masih suka menulis diary menggunakan Sandi Morse. Saat ini saya masih hafal sekitar 90 persen huruf Morse. Ah ya, walaupun sekarang teknologi sudah makin canggih dengan adanya software-software diary dengan pengaman password, Morse tidak akan pernah hilang dari kenangan saya.

read more from my post...

Santai Sedikit Laah...

26 November 2006
Beberapa hari ini saya kerap bersitegang dengan bokap. Beliau ini –satu dari sekian orang yang mencintai dan saya cintai- rupanya terganggu karena belakangan ini saya sering pulang malam. Kekhawatiran beliau, untunglah dapat saya pahami sebagai satu bentuk perhatian. Bagaimanapun bentuk penyampaiannya (SMS, telepon, pertanyaan di waktu pagi), kekhawatirannya adalah salah satu alasan yang mendorong saya selalu ingin kembali ke rumah. Bagaimanapun beliau adalah satu-satunya anggota keluarga di rumah yang tidak bisa tertidur ketika ada anggota keluarganya yang masih tercecer di luar rumah.

Kali ini, kekhawatirannya berpusat pada (menurut anggapannya) kurangnya waktu tidur saya. Penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan mudah, karena beliau dengan memang mengetahui kegiatan rutin saya. Itulah sebabnya saya hampir tidak pernah kehabisan pulsa, bokap menjamin ketersediaan pulsa ponsel untuk memudahkan saya melapor kegiatan dan posisi saya kepadanya.

Kembali lagi ke masalah kurang istirahat, ya... ngga bisa dibilang begitu sih. Kurang waktu tidur tepatnya. Beberapa hari belakangan ini memang ada saja kegiatan yang memaksa saya tidur larut malam. Mulai dari tiga hari lembur waktu ditugaskan memanage pembuatan film pendek, makan malam dengan klien, meliput untuk Pariwara sampai hang out bersama teman (satu hal yang sudah jarang sekali saya lakukan). Dan seringkali waktu melek itu masih berlangsung hingga larut malam. Ada saja hal yang memaksa saya untuk tidur semakin larut. Mulai dari mendesain publikasi untuk kebutuhan training, mentransfer rekaman wawancara dan mambuat rekapnya, menonton film-film bagus kalau sedang diputar di TV hingga ngobrol dengan teman (tengah malam) yang kebetulan mendapat jatah freetalk. Oh ya, empat hari ini juga saya diganggu sariawan besar yang cukup membuat tubuh selelah apapun enggan tertidur pulas.

Yeah well, itu kira-kira rincian kegiatan saya yang cukup membuat bokap hakul yakin saya kurang tidur. Padahal jatah tidur saya hari-hari ini tidak lebih sedikit dibanding ketika saya masih kuliah dulu. Beruntung sekarang saya tidak dipusingkan dengan paper-paper KPM yang jumlahnya mencapai lima perminggu itu. Kegiatan saya juga tidak lebih melelahkan dibanding saat kuliah dulu. Beberapa bulan ini, saya banyak menggunakan waktu dengan duduk di depan komputer. *Pekerjaan ini disebut monitoring=memelototi monitor komputer. Meminjam istilah teman saya dari UGM.

Jadi kalau selama bertahun-tahun ini saya bisa menjalani hidup tanpa gangguan kesehatan yang berarti (karena jam tidur yang sedikit), kenapa beliau harus khawatir? Tapi sekali lagi, pertanyaan saya terhenti pada dua kata saja: karena sayang.

Sesungguhnya, saya tidak merasa kekurangan waktu bersantai. Santai ya seperti saat ini, Minggu dini hari berteman handphone+earphone dan buku pinjaman dari seorang teman. Inilah salah satu bentuk santai menurut saya. Ah ya, kok saya memaknai santai berbeda dengan bokap ya? Buat saya, santai bisa berarti detik-detik di mana kita bisa berbagai cerita lucu dengan teman, tertawa bersama karena buruknya audio system bioskop dan juga detik-detik menjelang tidur yang saya lewatkan dengan mengenang kelucuan- kelucuan yang terjadi pada siang harinya.

Intinya, santai tidak harus berarti berbaring di kamar tidak mengerjakan apapun. Santai adalah setiap detik yang dilewatkan dengan senyuman, rasa nyaman yang menjaga setiap sel di tubuh bersemangat mengerjakan fungsi normalnya. Karena saya merasa menjadi orang yang lebih banyak tersenyum daripada khawatir, punya lebih banyak cerita lucu untuk dibagi ketimbang cerita sedih, lebih banyak teman daripada musuh (semoga), rasanya kok saya santai terus ya?

read more from my post...

Monday, October 30, 2006

Kabar setelah Ramadhan, tentang blog, tentang semua

untuk teman-teman...
mohon maaf atas salah dalam ucapan
bercanda yang berlebihan
dan semua yang tidak menyenangkan
semoga kita semua bisa kembali bertemu dengan
Ramadhan tahun depan..


Ada sedikit perubahan di blog ini, cuma desain kulit aja sih dan ada beberapa tulisan yang udah ngga layak tayang. Selebihnya, masih banyak jalinan kata yang bisa dicari maknanya... (cari terusss ampe mabok)hahahahaha

Hal yang pasti, gw akan terus menulis. Selama masih bisa membaca dan berkarya, selama itu pula gw akan terus belajar dengan merangkai kata (yang semoga bisa bermakna). Tulisan-tulisan di blog ini, semuanya asli tulisan gw. Ada permainan yang bisa diikuti oleh semua pengunjung blog. Seperti dalam novel Memoar of A Geisha yang baru gw baca, permainannya adalah menebak mana yang benar dan mana yang bohong. Mana tulisan yang merupakan pengalaman gw atau pengalaman teman gw. Mana yang nyata mana yang maya. Ngga usah terlalu dipikirkan, bisa jadi semua hanya fiksi.

Gw ngga menganut genre tulisan mana pun, gw menulis apa yang gw ingin tulis. Ngga mengkhususkan diri pada penulisan jurnalistik, puisi atau prosa. Kalaupun itu semua hanya membuat blog ini menjadi seperti trash bin, ngga apa2. Gw membuat blog ini hanyalah sebagai salah satu pemenuhan dari Hirarki Kebutuhan Manusia Maslow, yaitu kebutuhan untuk Aktualisasi Diri.
Walaupun, faktanya saat ini gw belum bisa memenuhi sendiri kebutuhan lain yang letaknya lebih rendah pada hirarki.

read more from my post...

Bad Mood

Semua terasa berbeda
Ruangan ini, suasana ini, bahkan suara tawa kita
Lewat tatap mata kita berbicara
Karena lidah kita sudah tak sanggup berkata
Suatu tanya bermain dalam benakku
Salahkah aku? Salahkah kamu?
Jujur, aku tak kuasa menjawabnya
Kita memang berbeda dalam semua
Hanya Rasa yang pernah mempersatukan kita
Namun ketika Rasa sudah tiada
Maka tiada lagi yang tersisa
Antara kita sekarang
Hanya ruang hampa yang tiada akhirnya

read more from my post...

Wednesday, August 09, 2006

untitled

Aku memilih untuk melanjutkan hidupku. Apapun yang terjadi kemarin, hal itu tak akan dapat menghentikan langkahku.

Tidakkah kau sempat bersedih?
Aku memilih untuk tidak merasakan kesedihan itu.

Kau tidak bersedih?
Kau kira aku bukan manusia? Kau kira aku tidak bisa merasakan kesedihan? Ya tentu saja aku sedih. Aku bahkan menangis. Sekarang kau bisa yakin, ya aku memang manusia biasa. Dua puluh satu tahun persahabatanmu denganku, pasti selama itu pula kau menunggu untuk melihatku menangis.

Tapi kemana Akal yang kau agung-agungkan sejak dulu?
Akal meninggalkanku sejak detik pertama pertemuanku dengan Dia. Ketika Dia pergi, aku memilih untuk meninggalkan Hati di tempat kami berpisah. Selangkah setelah aku berjalan, aku bertemu kembali dengan Akal. Aku berlutut di depannya dan memohonnya untuk tidak pernah tinggalkan aku lagi.

Bagaimana dengan Hati, tidakkah dia pernah menyusulmu?
Satu hal yang belum kuceritakan padamu, aku tidak sekedar meninggalkannya, aku mengikatnya, sehingga dia tidak pernah bisa menyusulku.

Hati pasti merasa kesepian...
Hati bukan teman yang baik. Hati cemburu pada Akal yang selalu menjadi kawan baikku. Ketika Dia bertemu denganku, rupanya saat itulah Hati melancarkan rencananya. Hati menguasaiku dan entah bagaimana mengusir Akal keluar dari diriku.

Kau tidak sempurna lagi...
Lebih baik begitu daripada merasakan lagi apa yang pernah kurasakan.

Akal tidak selalu baik padamu...
Setidaknya dia selalu mengajakku berdiskusi mengenai segala sesuatu. Dia tidak pernah memaksaku untuk melakukan sesuatu, dia tidak pernah mencoba menguasaiku.

Bukan dirimu yang berbicara saat ini..
Aku bahkan tidak dapat mengenali diriku lagi, tapi itu tidak menjadi masalah. Akal tidak akan mencelakakanku.

Apa kau bisa yakin?
....

Tidakkah kau merindukan Hati?
Tidak!!

Sedikitpun?
.....
.....
.....
Aku sudah lupa tempat dimana aku mengikatnya...

Inginkah kau kutemani mencarinya?
Dan kembali melewati jalan itu maksudmu?! Tentu saja tidak!

Kau akan tidak sempurna selamanya...
Kuambil resikonya. Lebih baik daripada kembali ke sana. Aku sudah berjalan sejauh ini, tidakkah itu hanya membuang-buang waktuku saja? Aku tidak mau kembali ke sana...

Lalu bagaimana dengan Hati?
.....
.....
Seseorang akan menemukannya, membebaskan ikatannya dan mempertemukanku kembali dengan Hati. Suatu hari nanti (berdoa)

read more from my post...